![]() |
Create by ChatGPT |
Pelajaran V: Jangan Lupakan Mimpimu!
Sepertihalnya remaja pada umumnya, saya di kala itu
tergolong orang-orang yang berani bermimpi dan percaya pada mimipi. Hingga saat
mengetahui dunia itu dinamis dan tidak semua yang kita inginkan dapat digapai
dengan mudah, saya mulai belajar menerima semua ketidak pastian itu. Meskipun
tidak sesuai dengan imipian indah masa SMA, saya tetap melanjutkan dengan
mimpi-mimpi baru.
Sedari kecil, memang saya dibiasakan
mengikuti berbagai lomba dan kegiatan. Kebiasaan itu berlanjut sampai kuliah.
Meskipun tidak selalu juara dan mendapat spotlight
seperti cerita-cerita inspiratif lainnya, saya tetap terus mencoba dan
menikmati kegiatan-kegiatan saya. Ada rasa penasaran yang tinggi tentang
seberapa jauh saya bisa capai dan seberapa besar penghargaan yang dapat saya
peroleh. Hingga datang hari di mana Bapak saya terkena covid, dibawa ke UGD,
dan meninggal, setelah itu, hidup saya banyak berubah.
Semenjak ujian berat saat itu (ujian
berat yang saya maksud di tulisan-tulisan sebelumnya), Saya lebih banyak
tenggelam dalam kesibukan di rumah. Saya harus mengurus taspen, membantu
pekerjaan rumah, membantu Ibu membuat jamu, membantu membimbing adik dan
mengajarinya segala hal yang bisa saya ajarkan. Belum lagi tekanan mental dan
perasaan ditinggal salah seorang keluarga pergi. Tanggung jawab bertambah,
menhadapi kesedihan Ibu, dan mencoba menjadi sosok Bapak bagi adek yang masih
SMP. Di masa-masa itu, saya seperti terombang-ambing di lautan yang terterkam
badai. Saya tidak bisa berfikir jernih, membuat perencanaan masa depan, dan
bersemangat tiap harinya. Hal itu mungkin terjadi karena beratnya beban di
pundak, hingga saya hanya fokus mencari pelarian. Mencari dopamine instan yang
membuat ketagihan (game dan lain sebagainya). Akhirnya saya hanya berfikir
pendek dan selalu berkata “Untuk hari esok, apa kata nanti, sudah”. Tak terasa
rutinitas itu berlangsung selama tiga tahun.
Ketika suasana membaik dan saya
dapat tumbuh lebih kuat lagi, terbersit mengenai masa depan dan cita-cita yang
harus saya siapkan. Dikarenakan terlalu lama tenggelam dalam kondisi di atas,
akhirnya yang muncul adalah sebuah validasi negatif, contoh dengan pertanyaan seperti
“Emangnya hidup harus menjadi yang nomer satu?”, “Emangnya kita harus menjadi
yang bersinar?”, dan berbagai macam pemikiran yang kurang baik lainnya. Pemikiran
itu terpatahkan sejak saya melihat ke dalam diri dan realitas sekitar saya.
Usia saya mulai bertambah, teman-teman sudah lulus dan berkarir, kekasih saya
sudah lulus dan bekerja sedangkan meskipun saya sudah bekerja, namun kuliah
saya molor, tidak ikut program profesi, dan lain sebagainya. Kondisi tersebut,
membuat mau tidak mau saya harus berubah. Saya tidak ingin menyesal di kemudian
hari jika begini-begini saja.
Daripada terpuruk dalam penyesalan,
saya memilih untuk fokus mencari solusi dan merancang rencana masa depan.
Meskipun sedikit terlambat, namun inilah cara satu-satunya untuk keluar dari
zona nyaman dan memulai berproses kembali. Tidak ada yang tau bagaimana masa
depan, oleh karena itu saya terus berusaha, mendekatkan diri pada Tuhan, dan
percaya pada diri sendiri. Sejak saat itu sampai sekarang, saya mulai merawat
kembali mimpi-mimpi saya. Entah bagaimana hari esok, saya akan berusaha dengan
tekun untuk memperjuangkan mimpi-mimpi itu.
Komentar
Posting Komentar