A.
Konsep Profetik
Sani (2017:60) menyatakan, bahwa asal
dari kata profetik berasal dari kata prophet
yang berarti nabi. Muhammad Iqbal menguraikan etika profetik mengutip dari
perkataan Abdul Qudus seorang mistikus Islam dari Gangga yaitu “Muhammad dari jazirah Arab ke Mi'raj, ke
langit yang setinggi-tingginya dan kembali. Demi Allah aku bersumpah, jika
sekiranya aku sampai mencapai titik itu, pastilah sekali-kali aku tidak akan
kembali lagi ke bumi.".
Perjumpaan
dengan Allah merupakan cita-cita utama umat muslim dan “goal” dari segala bentuk peribadatan yang dilakukan. Seperti pada
pengalaman spiritual para sufi yang mengalami ekstase ketika dekat dengan
Allah. Lalu, di posisi Nabi Muhammad yang bukan hanya dekat, namun telah
menjumpai Allah, memutuskan mengorbankan kegembiraan spiritualitasnya dan turun
ke bumi demi kepentingan umatnya. Selain dengan mengemban misi dakwah
ketahuidan, juga misi transformasi sosial. Hal tersebutlah yang menjadi landasan
tentang konsep-konsep keprofetikan.
Sedangkan
Intelektual Profetik menurut Sani (2017: 61) dimaksudkan bagi mereka yang memiliki
kesadaran akan diri, alam dan Tuhan yang menisbatkan semua potensi yang
dimiliki sebagai pengabdian untuk kemanusiaan dengan melakukan human-isasi dan
liberasi, dijiwai dengan transendensi disemua dimensi kehidupan sesuai dengan kompetensi
yang dimiliki dalam rangka beribadah pada Allah Swt, hal ini sebagai perwujudan
khalifah di muka bumi.
B.
Tugas
Intelektual Profetik
Menurut
Sani (2017: 71) dalam bukunya yang berjudul “Manifesto Gerakan Intelektual
Profetik”, menjelaskan tentang tugas utama yang diemban oleh seorang
intelektual profetik, yaitu untuk merubah dunia bukan hanya menginterpretasi dunia.
Sifat intelektual tersebut yang menjadikan ia bersikap aktif dalam sejarah dan
melakukan pembenahan terhadap realitas sosial. Sani juga menjabarkan tentang
proses transformasi sosial yang dilakukan sesuai dengan tiga pilar etika
profetik dengan berlandaskan pada Al-Qur’an surah Ali ‘Imron ayat 110 yaitu; Humanisasi
(Amal ma’ruf), liberasi (Nahi munkar), dan transendensi (Tu’minuna billah).
1. Humanisasi
Humanisasi merupakan terjemahan kreatif dari amal ma'ruf yang memiliki makna asal menganjurkan atau menegakkan kebaikan.
Amar ma'ruf bertujuan untuk meningkatkan dimensi dan potensi positif manusia,
yang membawa kembali pada petunjuk Ilahi untuk mencapai keadaan fitrah. Fitrah
adalah keadaan manusia yang memiliki kedudukan sebagai mahluk yang mulia sesuai
dengan kodrat kemanusiaannya atau dalam upaya me-manusiakan manusia yakni
menghilangkan kebendaan, ketergantungan dan kekerasan, serta kebencian dalam
diri manusia (Sani, 2017: 69-70).
Berbeda dengan humanisme antroposesntris yang menjadikan akal manusia
sebagai tolak ukur humanisme. Humanisme teosentris menjadi tawaran dalam buku
Abdul Halim Sani tersebut, yaitu dengan menjadikan nilai-nilai transendental
sebagai landasan dan melakukan tindakan atau amal atas dasar ketaatan kepada
Tuhan. Jadi nilai keimanan atau ketauhidan tidak dapat dipisahkan dari aksi
yang berupa kebaikan. Salah satu konsekuensi dari ketahudan adalah berupa amal
shaleh.
2. Liberasi
Liberasi merupakan terjemahan dari nahi
munkar yang memiliki arti melarang atau mencegah segala tindakan kejahatan
Liberasi memilki arti pembebasan terhadap yang termarjinalkan (Sani 2017: 70). Konsep liberasi dalam kerangka profetik adalah
dengan menjadikan nilai-nilai transenden sebagai landasannya. Jadi Agama sebagai
ilmu yang objektif dan faktual.
Berbeda dengan liberasi dalam konteks Marxisme yang melakukan liberasi
atau pembebasan kaum proletart menuju masyarakat tanpa kelas, liberasi profetik
melakukan pembebasan kaum tertindas, menuju ketauhidan kepada Allah.
Sebagaimana saat Musa A.S membebaskan kaumnya dari penindasan Fir’aun dan Nabi
Muhammad SAW yang melakukan pembebasan di Mekkah.
3. Transendensi
Transendensi merupakan terjemahan dari tu'minuna billah yang berarti beriman kepada Allah. Gagasan ini
merupakan jiwa dalam proses humanisasi dan liberasi. Proses memanusikan manusia
dan melakukan proses pembebasan merupakan sarana untuk kembali pada Tuhan.
Tujuan akhir dari proses liberasi dan humanisasi adalah Tuhan (Sani, 2017:
71-72).
C.
IMM dan Spirit
Profetik
IMM
merupakan organisasi kepanjangan tangan Mehammadiyah di ranah akademisi
uatamanya kemahasiswaan yang bertanggung jawab untuk melakukan dakwah amar ma’ruf nahi munkar IMM sebagai
ortom Muhammdiyah, yang merupakan gerakan Islam, pastinya menempatkan
nilai-nilai transendental yaitu Al-Qur’an dan Sunnah pada pondasi-pondasi
perjuangannya.
Melalui
nilai-nilai transendensi sebagai landasan perjuangan tersebut, gerakan
Intelektual Profetik sangat relevan dan sangat berkaitan erat dengan corak
perjuangan IMM. Bukan hanya sebagai organisasi keagamaan yang bergerak demi
mencapai kesalehan individu saja, namun konsekuensi dari kesalehan dan
ke-tauhidan tersebut harus berupa amal saleh dan bentuk perubahan bagi
lingkungan sekitar.
Seperti
pada perjuangan Ahmad Dahlan di kauman menghadapi segala dinamika realitas di
sekitarnya. Melalui refeksinya terhadap realitas sosial, Ahmad Dahlan melalukan
banyak perubahan. Di masa penjajahan dan kentalnya adat kejawen, membangkitkan
kesadaran Ahmad Dahlan sebagai manusia untuk berdakwah dengan corak pemurnian
(purifikasi) untuk membersihkan Islam dari pengaruh TBC (Takhayul, Bid’ah,
Churofat) dan membentengi umat dari pengaruh kristenisasi. Langkah perjuangan
dakwah Ahmad Dahlan didasari oleh tanggung jawab sebagai manusia untuk selalu
ber-amar ma’ruf nahi munkar. Tingginya tingkat kemiskinan, rendahnya tingkat
pendidikan, dan kebekuan pendidikan Islam saat itu, membuat Ahmad Dahlan
melakukan perubahan yang bercorak pembaharuan (dinamisasi) yaitu dengan membentuk
PKO (Penolong Kesengsaraan Oemat), membangun sekolah modern, Rumah sakit, panti
asuhan dan bentuk alam usaha lainnya. Gerakan pembaharuan Ahmad Dahlan dalam
melakukan transformasi sosial dilandasi dengan nilai-nilai Al-Qur’an, salah
satu contohnya yaitu teologi Al-Ma’un. Segala upaya dan perjuangan Ahmad Dahlan
tersebut semata-mata dalam rangka perwujudan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dari
teladan tersebut, menurut karakteristiknya, Ahmad Dahlan telah menerapkan
spirit profetik.
IMM
dalam dinamika gerakanannya memiliki sebuah ruh atau role model gerakan, yang biasa dikenal dengan istilah Trilogi yaitu
berisi; Kemahasiswaan, Kemasyarakatan, dan Keagamaan. Ketiga hal tersebut
merupakan kesatuan yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama
lain (holistik) namun karakteristiknya bisa dibedakan. Dalam implikasinya, Kemahasiswaan
adalah bahwa kader IMM selain kompeten di bidang fakultatif kuliahnya, juga
mampu memiliki kecakapan secara intelektual sebagaimana karakteristik seorang
aktivis dan segala fungsinya. Kemasyarakatan, berarti bahwa kader IMM harus
memiliki jiwa sosial dan empati yang tinggi. Selain itu di dalam poin
kemasyarakatan, juga mengemban tanggung jawab dari ilmu yang telah dipelajari
untuk diterapkan demi kemaslahatan. Terakhir, adalah keagamaan. Sebagaimana
gerakan mahasiswa Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah, semestinya
profile kader IMM haruslah lekat dengan nilai-nilai ke-islaman dan ketaqwaan.
Selain itu, poin keagamaan mengindikasikan bahwa nilai-nilai transendensi adalah
landasan dan muara dari gerakan kemahasiswaan dan juga kemasyarakatan. Seperti
contoh; seorang kader IMM menguasai ilmu perkuliahannya semata-mata niat karena
Allah dan untuk Allah (Kemahasiswaan). Setelah berilmu, ilmu tersebut
diterapkan ke lingkungan sekitar demi mencapai kemaslahatan (Kemasyarakatan).
Segala aktifitas tersebut dijalankan atas dasar ketaqwaan dan sarana
mendekatkan diri kepada Allah (Keagamaan).
Spirit
profetik kaitannya dengan corak gerakan IMM sangat kental pada dimensi
kemasyarakatan atau humanitas yang ada pata trikompetensi dasar. Pasalnya,
spirit humanitas IMM selain melakukan praktik amar ma’ruf seperti
berdakwah perihal kebenaran dan kesabaran, IMM juga melakukan tindakan nahi munkar sebagaimana perannya sebagai agen of control terhadap dinamika sosial
dan juga politik. Hal tersbut memuat unsur tiga pilar etika profetik. yaitu
humanisasi dan liberasi. Sebagai landasan berfikir dan bergerak dalam
menjalankan misi kemanusiaan, IMM senantiasa meletakkan nilai-nilai transendensi
yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagaimana pemahaman akan teologi Al-Ma’un sebagai
perwujudan penafsiran tu’minuna billah. Hal
tersebut selaras dengan konsep transendensi pada tiga pilar etika profetik.
Adanya
paradigma gerakan Intelektual Profetik memperkaya varian gerakan IMM utamanya
dalam hal humanitas atau kemasyarakatan. Menjadikan gerakan Intelektual
Profetik sebagai alternatif utama gerakan sosial di IMM adalah hal yang sangat
tepat dan wajar sekali. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa gerakan
intelketual profetik sejalan dengan ruh perjuangan IMM itu sendiri.
Penulis
harap wacana tentang Intelektual Profetik tidak menjadi asing di telinga
kader-kader IMM sehingga pergerakan filantropi IMM menjumpai ciri khasnya.
Paradigma Intelektual Profetik diharapkan menjadi pintu gerbang perkenalan
kepada kader-kader utamanya di dalam proses perkaderan Darul Arqom Dasar (DAD)
sehingga menjadikan pendekatan profetis sebagai landasan untuk mengarungi
pemikiran-pemikiran sosial barat.
Komentar
Posting Komentar