“PEREMPUAN HIJAU PELOPOR”

 


“Perempuan Hijau Pelopor”
Karya: Farhan Fiqman

“Bapak tidak bisa seperti ini, Pak. Kalau hutan digundul, kami bisa tambah susah. Apalagi di situ juga terdapat sumber mata air”.

“Begini, Bu. Kami mau menebang hutan untuk membuka tempat pariwisata, di dalamnya juga akan dibangun villa. nah kan nanti akan membuka lapangan pekerjaan yang banyak”

“Bapak jangan khawatirkan lapangan pekerjaan kami, di dataran tinggi seperti ini warga-warga punya sawah dan kebun semua”

            Suasana mulai memanas di rumah Ibu kepala desa yang terletak di dataran tinggi. Dinginnya udara pun tak mampu meredakan emosi Bu kades yang tersulut oleh seorang utusan investor pariwisata yang ingin mengganti lahan hutan sejumlah belasan hektar menjadi ladang “cuan” bagi perusahaannya. Bu kades yang dijuluki macan betina di desanya itu, seakan ingin melahap habis bapak-bapak utusan investor tersebut. Si Bapak dengan lembut terus benegosiasi kepada Bu kades untuk mendapat dukungannya berharap ada secercah harapan bagi kata-katanya untuk menyelinap dan melunakkan hati macam betina tersebut.

“Begini sudah, Bu”. Mendekat sembari berbisik. “Kalau nanti tempat ini ini berdiri, saya akan ngasi ibu kompensasi.. Bagaimana, Bu? Enak kan?”

Ibu kades sontak berdiri dari tempat duduknya lalu memukul keras meja di depannya sehingga menghasilkan suara yang keras.

“Bapak apa-apaan, Jangan sogok-sogok saya. Apakah Bapak masih keras kepala? Kalau hutan di sekitar sini digundul, hewan dan tumbuhan akan mati, rawan tanah longsor, apalagi di situ ada sumber mata air kami. Pokonya keputusan saya tetap menolak!”.

Raut wajahnya masih merah padam, menunjukkan pertentangannya yang kuat terhadap rencana penggundulan hutan di desanya.

Bapak-bapak utusan investor tersebut kaget sembari memasang wajah kecut karena kecewa dengan sikap Bu kades, ia pun berdiri dari tempat duduknya.

“Hmm oke, nampaknya kegiatan pemberitahuan saya cukup sampai di sini. Ibu menolak ataupun tidak, kami akan tetap menggunduli hutan ini, toh kami juga sudah punya surat izin dari pemerintah daerah setempat. Kalau begitu saya pamit, Bu. Selamat siang”.

            Peristiwa tersebut menjadi penyulut kemarahan Bu kades dan para warganya. Di pedesaan dataran tinggi yang dekat dengan hutan, stabilitas kehidupan di desa akan sangat terganggu apabila hutan digundul, apalagi dengan adanya sumber mata air di sana yang sudah menjadi pengalir kehidupan bagi para warga sekitar. Jika momok menakutkan itu sampai terjadi, maka malapetakapun akan silih berganti menjumpai para warga. Mulai dari tanah longsor, banjir, kekeringan panjang, ekosistem hewan dan tumbuhan yang rusak serta berbagai jenis malapetaka lainnya. Sungguh dengan sogokan uang dan kesenangan duniawi sementara tak akan pernah mampu menggantikannya.

            Sebenarnya alasan keberanian Bu kades melakukan perlawanan terhadap utusan investor tersebut adalah selain karena memang karakter Bu kader yang garang, juga karena adanya wawasan yang cukup mendalam terkait ekologi utamanya ekologi di desa dan sekitarnya. Hal itu bermula dari datangnya mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) dari program studi Geografi yang memiliki misi pengabdian dan sosialisasi kepada warga terkait kesadaran akan ekologi dan pelestarian lingkungan. Dari situ para warga utamanya Bu kades sangat tertarik, dan sering sekali melakukan diskusi serta konsultasi.  Sehingga tak heran mengapa Bu kades tanpa ragu melakukan perlawanan terhadap “cecunguk-cecunguk” yang hanya berisikan uang saja di otak mereka itu. Semenggiurkan apapun tawaran duniawi yang akan diberikan, semangat membara Bu kades takkan pernah luntur, demi alam, dan demi kesejahteraan warganya.

            Akhirnya perlawanan-perawanan Bu kades dan warganya pun senantiasa dilakukan semenjak para kontraktor pembangunan pariwisata mulai bermukim. Hampir setiap minggu Bu kades dan beberapa perwakilan dari warga melakukan protes ke para petinggi kontraktor namun hasilnya percuma, yang didapati hanyalah penolakan dan usiran. Bu kades tak tau harus bagaimana lagi, minimnya pendidikan Bu kades dan warganya membuat proses perlawanan yang hanya seperti itu sudah wajar sekali.

Hingga sampai pada hari di mana penebangan pohon dilaksanakan secara masif, banyak pekerja-pekerja yang bergegas, truk-truk, alat-alat berat, dan para pejabat serta orang-orang elit berpakaian rapi mulai berdatangan seperti segerombolan semut-semut yang ingin mencuri gula dari balik kantong Ibu pertiwi.  Bu kades pun tak habis pikir kenapa dirinya dan juga warganya akan menjadi korban dari keserakahan segelintir orang. Hati mereka tak luluh dengan bujukan, tak luluh dengan nurani, tak luluh pula dengan air mata. Yang dapat meluluhkannya hanyalah kepentingan dan uang. Ya, benar ! uang tak mengenal agama, tak mengenal alam, tak juga mengenal kemanusiaan. Di dunia yang benar-benar kacau ini, nasib orang-orang kecil seperti Bu kades dan warganya hanya ibarat lalat-lalat yang lalu lalang menghalangi pendangan para kapitalis itu. Jika sangat pengganggu maka akan dibasmi habis. Bahkan tidak perlu terlalu berfikir panjang.

Bu kades tak hanya berdiam diri menghadapi kehancuran yang kian mendekat, dengan inisiatifnya, ia mengumpulkan warga untuk melakukan demonstrasi penolakan pendirian tempat pariwisata. Esoknya ia mengumpulkan warga untuk bermusyawarah dan mengambil tindakan dari perusakan lingkungan tersbeut.

Di pagi hari, pada rapat yang Bu kades pimpin di balai desa.

“Pak, Bu. Keadaan saat ini benar-benar genting. Sebentar lagi hutan kita akan digundul dan akan digantikan dengan tempat pariwisata. Kalau ini dibiarkan, bagaimana dengan desa kita? Pastinya alam akan terganggu, apakah Bapak dan Ibu ingin anak cucu kita merasakan udara yang panas serta penuh polusi, air bersih yang langka, dan rawa tanah longsor? Tentunya tidak kan.  Kita telah melihat beberapa hari ini. Sudah banyak alat berat dan pekerja-pekerja yang mulai berdatangan, kita tidak bisa berdiam dan berpasrah diri, bapak, ibu. Kita haru segera melakukan demonstrasi dan perlawanan. Bagai mana menurut, Bapak dan Ibu?

Kemudian seorang bapak-bapak berkaos putih dan bercelana hitam mengacungkan tangan, untuk mengutarajan pendapat.

“Benar yang dikatakan Bu Kades,  saya seorang petani akan banyak kerugian kalau hutan digundul, yang pertama masalah kebutuhan air yang lebih sulit, dan juga resiko tanah longsong yang mungkin saja akan menimpa sawah saya”

“Benar saya juga”. Saut seorang Ibu-ibu berpakaian berdaster. “Saya sebagai Ibu rumah tangga juga rugi, Bu Kades, nanti anak-anak saya kasian tumbuh besar dengan menghirup udara yang tidak bersih. Apalagi nanti tambah panas. Ayoo dah, Bu sikat saja! Kita demo tuh kr orang-orang yang mau menggunduli hutan”.

“Iya, Bu benar! Saya siap ikut demo” “Iyaa, Bu saya siap juga”. Suara saling bersahutan antar warga.

Kemudin saat hari pelaksanaan, segala persiapan telah disiapkan. Sepanduk, poster, pengeras suara dan atribut demo lainnya. Dengan aba-aba Bu kades, warga pun berbondong-bondong melabrak ke tempat penebangan pohon tersebut.

Sesampainya di lokasi, tampak banyak pekerja yang mulai mencacar pepohonan di pinggiran hutan, terdapat alat berat untuk mempermudah penebangan pohon, juga terdapat orang-orang yang memegang map serta beberapa berpakaian rapi sembari mengawasi. Bu kades dan warga berbondong-bondong semakin mendekat ke lokasi dengan segala atribut yang telah disiapkan.

“Gagalkan pembangunan pariwisata!, gagalkan pembangunan pariwisata!”. Teriak Bu kades dengan lantang melalui pengeras suara dan dengan tangan yang mengepal.

“Gagalkan segera! Batalkan segera!”. Saut warga dengan tangan yang mengepal pula.

            Melihat kerumunan warga, mandor pun menginstruksikan bawahannya yang bertubuh tinggi besar untuk memblokade kerumunan warga yang ingin mendekat.

            Para pekerja yang bertubuh tinggi besar pun dengan sigap mencegat warga masuk lebih dalam ke kawasan proyek. Gesekan dan dorongan fisik antara para pekerja dan warga pun tak terakkan lagi.

“Heyyy apa kau dengar bapak-bapak yang ada di sana? penggundulan hutan ini bisa mengakibatkan hal yang buruk bagi desa kami, menggunduli hutan, berarti telah membunuh kami secara perlahan. Dengan tegas kami menolak! Cepat batalkan pembangunan tempat pariwisata ini!”. Teriak Bu kades dengan pengeras suara sembari berdesakan dengan para pekerja yang bertubuh tinggi besar.

“Yaa itu benar! Cepat gagalkan” “Iyaa benar, bagaimana dengan nasib kami dan anak-anak kami kedepannya?”. Teriak warga saling bersahutan sembari mencoba menerobos pekerja yang mencoba mencegat

Akhirnya gesekan dan dorongan dari kedua kubu yang berlangsung terus-menerus menyebabkan kerusuhan semakin menjadi-jadi. Para pekerja pun melakukan tindakan yang lebih tegas dengan mendorong warga lebih keras. Warga dan para pekerja pun saling dorong hingga bentrokan semakin brutal. Sebagian pekerja ada yang membawa alat dan benda di sekitar proyek lalu memukul warga yang terus-terus melawan. Pelipis Bu kades akhirnya terkena hantaman kayu dan jatuh tersungkur menahan rasa sakit. Para warga banyak yang terluka. Keadaan semakin ricuh wargapun tak sanggup menahan serangan para pekerja hingga harus mundur dengan kondisi luka-luka.

“Ayo bubar, Pak, Buk. Dari pada luka-luka kita lebih parah”. Himbau Bu kades kepada warga sembari menahan sakit dan memegang kepalanya yang mengeluarkan sedikit darah.

Bentrok antara warga dan pihak kontraktor pun semakin surut, krumunan perlahan mundur dengan luluh lantah, beberapa berjalan sedikit pincang dan beberapa kesakitan menahan hantaman tongkat.

“Dasar manusia kejam! Tidak punya hati nurani”.  “Selamanya kami tidak akan pernah memaafkan kalian”. Teriak warga saling beriringan dengan nada yang penuh kebencian.

            Hari-hari yang berlalu tak luput dari umpatan dan kebencian yang mendalam dari warga. Setiap melihat proses penggundulan hutan membuat luka yang pilu di hati setiap warga, utamanya Bu kades. Berita tentang bentrokan warga desa dengan pihak kontraktor tak sepucukpun terbawa kabar angin apalagi ke pemerintah setempat. Uang menjadi obat bagi kehidupan yang sengsara dan terlalu rumit. Menjadi pemuas dahaga bagi nafsu dan keserakahan. Tak semua manusia dengan uang dan jabatan berprilaku mengerikan, namun sialnya, Bu kades dan warganya menjumpai nasib bertemu dengan sebagian yang berhati dingin.

            Di ujung jalan perjuangan Bu kades melawan perusakan alam menuai kegagalan dan luka. Bu kades dan warganya telah melakukan berbagai hal demi desa dan lingkungan. Mereka berani menempuh jalanan berduri  atas dalih kebenaran dengan tangan yang mengepal. Satu-satunya yang Bu kades pikirkan tentang alam adalah, bahwa alam adalah inti kehidupan di bumi, terlebih hutan yang merupakan paru-paru dunia. Tanggung jawabnya sebagai perempuan disadari sebuah kesadaran bahwa pelestarian alam bukan hanya tanggung jawab laki-laki saja, justru perempuan dengan sifat kasih sayang dan naluri merawatnya yang lebih tinggi ketimbang laki-laki harus mampu menjadi pelopor pelestarian alam dan lingkungan. Jika alam rusak, maka manusia akan terganggu hidupnya, termasuk perempuan. Jika perempuan terganggu karena kerusakan alam, maka terganggu pula proses perekembangbiakan dan keberlangsungan umat manusia. Hal itu karena perumpan adalah rahim dunia dan perempuan adalah tiang peradaban!.

TAMAT


Komentar