“Nasionalisme Air dan Hutan”

“Nasionalisme Air dan Hutan”
Oleh: Farhan Fiqman

Ada keajaiban besar yang menciptakan harmoni semesta raya, keteraturan udara yang dengan kadarnya, perjalanan segerombolan air memburu keabadian, pepohonan dan hutan yang sengaja di lukis Tuhan sebagai pernafasan bumi, paru-paru dunia.

“Aku suka teduh anggun rindang cabang-cabang dan dedaunanmu yang mengiringi perjalananku melewati sela-sela akar, bebatuan, lereng jurang dan seluk-beluk tubuh bumi pertiwi ini”. ungkap air sungai yang jernih kepada pepohonan rindang di tengah-tengah belantara hutan.

“Ya, aku tak jemu-jemu berdiri dengan kokoh menawarkan kesejukan dan kenyamanan dengan siapa saja yang berada di bawah naunganku seperti unsur-unsur yang terkandung dalam rahim bumi pertiwi yang sama-sama kita cintai ini. Tak terkecuali teruntuk rubah-rubah hutan, bebatuan, angsa liar dan apapun itu ”. Ujar pepohonan rindang.

Angin menghampiri dengan langkah lembut sembari menari-nari di antara aliran sungai dan ranting-ranting pepohonan yang rindang “Kita patut bersyukur telah mampu menawarkan sebuah pengharapan indah dan suasana damai ini. Udara yang ku kandung sungguh bersih, menjelma anugerah diserap makhluk-makhluk bumi pertiwi ini, dan kulihat kalian wahai pepohonan dan sungai sungguh menyuguhkan hal serupa indah”.

“Aku beryukur terhadap Tuhanku dan aku akan berdiri kokoh atas kehendak-Nya, semoga terberkatilah aku dan siapa saja yang membutuhkanku” Sahut pepohonan rindang

“Aku bersyukur terhadap Tuhanku dan aku akan menapaki jejak yang telah dititahkan oleh-Nya dengan sekuat tenaga menjadi penyejuk apa saja yang mengiringiku, menjadi sumber kehidupan, dan  kabar gembira bagi siapa yang menantikan kehadiranku terutama teruntuk bumi pertiwi ini”. Sahut air sungai.

                Air sungai beranjak dari diskusi ringan antara beberapa unsur semesta, dari cerita-cerita syukur dan ungkapan-ungkapan kebahagiaan. Perjalanan berlanjut menuju tempat-tempat yang beragam akan rupa maupun keindahan, ia senantiasa mengharap kebermanfaatan dirinya untuk semesta raya entah siapapun itu. Melewati pinggang-pinggang pepohonan, bertemu ikan-ikan, dan bertegur sapa dengan perahu nelayan di perbatasan antara kota dan hutan.

“Pemandangan apa ini yang berada di sebelah kiriku? Ini jauh berbeda dari alam di hutan(pemandangan sebelah kanan). Aku melihat kaca-kaca yang tersusun rapi menjulang ke angkasa, jembatan raksasa yang di atasnya terdapat hewan-hewan berkulit besi yang memiliki kaki bulat, dan aku lebih sering menjumpai kawan-kawan baru yang mengapung di tubuhku”. Air sungai bergumam dengan penuh keheranan.

“Tempat ini neraka bagimu, aku dan kawan-kawanku sesaat lagi akan menjelma racun di tubuhmu”. Tegur kaleng besi yang berkarat

“Sebangsaku juga akan menghambat lajumu, kau tak akan leluasa lagi menari-nari disekitar sini”. Ucap pelastik bekas.

“Apa maksud kalian? Siapa kalian sebenarnya?”. Tanya air sungai dengan tatapan heran dan panik.
“Tak usah banyak mengoceh, tubuhmu sebentar lagi akan ku ambil alih”. Ancam sang limbah pambrik beracun.

“Tidak!, jangan mendekat! Ada apa ini? Aku hanya ingin menunaikan kewajibanku sebagai air jernih yang akan bermanfaat bagi alam semesta” Teriak air sungai dengan hati yang ketakutan.

 “Apa? Bermanfaat? Hahaha, sungguh lolucon yang sangat menggelikan. Kau akan berakhir seperti kami!” Sahut kaleng besi yang berkarat.

“Tidakkk! Tidakkk! jangan mendekat !, Kenapa kalian begini? Ulah siapa ini?”. Teriak air sungai

“Asal kau tau, Ini ulah manusia egois itu!” sahut segerombolan sampah-sampah yang mengapung di badan air sungai.

“Hah, tidak mungkin! Manusia adalah makhluk yang cerdas dan berakal, pasti mereka tidak akan menghendaki kehidupan yang sengsara, alam yang rusak dan matinya hewan-hewan!”. Sangkal air sungai

“Kata siapa? Mereka hanyalah sekumpulan makhluk-makhluk yang egois!, yang hanya mementingkan isi perutnya sediri, tak pernah sekalipun mementingkan alam disekitarnya. Sungguh kami sangat muak terhadap mereka! Habis manis sepah di buang!”. Sahut sekumpulan sampah itu. 

“Ya, benar. Aku menjadi saksi atas prilaku manusia-manusia tersebut. Mereka memburuku, membantai, meracuni anak-anakku. Aku tak tahu harus melakukan apa lagi selain pasrah”. Ucap ikan yang sedang kelabakan oleh racun pencemaran air.

“Uhuk.. Uhukk..” Terdengar suara batuk angin yang mulai tercemar asap-asap pabrik kota. Diam-diam menghampiri air sungai.

“Angin, kau..”. Ucap air sungai kepada angin dengan ekpresi terheran-heran

“Sudah,nanti saja bicaranya. Ayo ikut aku!”

“Kemana?”

“Aku punya jalan keluar untuk menyelamatkanmu, ayo cepat !”

“Mau pergi kemana kalian?, ikutlah bersama kami disini. Mati membusuk, dan menjadi rancun untuk semesta raya ini!”. Teriak segerombolan sampah dan limbah sembari mendekat lalu menyergap menyebar luaskan diri.

“Tidakkk. aku tak mau!” Sahut air sungai sembari berlari mengikuti kemana angina membawa.

                Angin bergegas berlari menuntun air sungai dengan tubuhnya yang mulai berwarna kehitam. Ia tercemari oleh kombinasi kentut-kentut hewan-hewan besi dan mulut corong-corong pabrik.
Lalu dibawanya air sungai menuju tempat pelarian yang sepi dari keramaian sampah-sampah, melewati pipa-pipa dan gang-gang sempit, hingga mereka bermuara pada teras surga tempatnya bermain sehari-hari, tempat rindang pepohonan hutan belantara.

“Kenapa kau bisa berada di sana, wahai angin?”

“Yah, aku tak sengaja bermain-main mengikuti nyamannya arus angin di sekitar hutan, hingga akhirnya ku terbawa jauh menuju pinggiran perkotaan dan tak sengaja melihatmu dikepung kumpulan sampah serta limbah-limbah pabrik” sahut angin.

“Ya, kau benar, sungguh ungkapan apa yang setara untuk melambangkan peristiwa yang telah kita alami tadi?, semua ekspetasiku terhadap alam di luar sana bertolak belakang, aku di iris-iris kesedihan, ketakutan dan kekhawatiran” Keluh air sungai kepada angin

“Entah sudah berapa banyak racun yang telah merasuki tubuhku ini, aku tak ingin lagi pergi ke sana. Selayaknya bagi kita berdiam diri selama mungkin di tempat yang jauh dari polusi ini” Sahut angin kepada air sungai

“Ya, kau benar. Sepertinya harapanku mulai sirna untuk pergi menjelajah bumi pertiwi, menebar kebermanfaatan dan kenyamanan. Aku terlalu takut akan rancun-racun yang nantinya akan membuhku secara perlahan.” Kata air sungai.

Lalu terdengar suara dari kejauhan di tengah hutan belantara..

“Panaaassss… Panaasss”  Suara yang setengah samar-samar dan disertai pemandangan asap tebal dari kejauhan.

“Hah, suara siapa itu? Mengapa ada asap tebal di sana?”. Tanya angin kepada air sungai.

“Jangan-jagan itu suara pohon? Ayo kita ke sana!”

Mereka berlari menuju sumber suara di bagian jauh hutan sembari terbatuk-batuk karena melewati krumunan asap-asap yang juga sedikit mengganggu pengelihatan.

 Mereka tiba dengan keadaan terkejut, iba, dan marah melihat pepohonan yang sedang menangis bermandikan api yang menyala-nyala.

“Panaass.. Panasss… toloonngg.. tolongg siramkan air kepadaku! Cepat !” Teriak pohon-pohon yang bermandikan kobaran api

“Kenapa kau bisa sampai seperti ini?” Tanya air sungai dan angin

“Ini ulah manusia egois itu. Ahhh panass cepat siramkan aku air”

“Dasar! Lagi-lagi ulah manusia. Ayoo angin, hembuskan aku agar mampu membasahi tubuh pohon-pohon!”

“Baiklah”    
         
Air sungai dengan usahanya bersama angin pun tak mampu memadamkan keseluruhan api yang berkobar-kobar mengikis raga serta jiwa pepohonan iti secara perlahan. Api tetap menyala di berbagai tempat, membumi hanguskan tempat-tempat yang ia singgahi.

“Sungguh ku tak mengerti, entah apa yang mereka fikirkan?, mereka menyulutkan api dan membakarku dengan begitu remehnya,  hanya demi kepentinganya pribadi!. Apa yang salah? Bukannya aku hanya ingin menaungi mereka? Menjadi penyejuk bumi yang mereka diami? Apakah perbuatanku ini salah? Sungguh air mata dan jeritan tangisku akan menjadi bukti keserakahan mereka!. Tangisan dan teriakanku  nantinya akan menjelma petaka bagi manusia-manusia berhati iblis itu!. Ketika paru-paru dunia mereka  grogoti, ketika sumber kesejukan mereka lenyapkan, sungguh atas nama bumi dan alam semesta raya ini, aku bersumpah akan mengutuk kehancuran yang sehancur-hancurnya untuk mereka!.  Ahhhh panas… Rasanya waktuku lama lagi, aku akan menyatu dengan tanah-taah kering ini, menyatu menjadi sari pati bumi, menjadi sisa-sisa dongeng dan menghilang dari bumi pertiwi . Selamat tinggal angin, selamat tinggal air sungai, dan selamat tinggal bu- mi… per-ti-wi….”.

Melihat kejadian tersebut air sungai dan angin menangis terisak-isak sembari mencoba kembali memadamkan api pepohonan belantara hutan, namun sayang hal itu tidak berbuah banyak, bahkan air dan angin semakin lama semakin terkikis pula juwanya akibat asap yang tebal meracuni angin dan air-air mulai surut termakan panas api. Keadaan semakin memburuk, tanah semakin mongering, hutan-hutan tinggal arang, angin segar hanya tinggal nama, hewan-hewan tinggal bangkai-bangkai dan teriakan-teriakan tragis. Unsur-unsur hutan lantas mati dan lenyap.

Di penghujung hayatnya, air sungai tak mampu lagi berkata-kata, idealisme seakan mati terbantai realitas yang ada. Ia perlahan naik ke udara menjelma uap yang akan melebur bersama awan-awan di langit sana. Namun di pertengahan jarak antara langit dan bumi, ia melihat seorang manusia yang menangis sembari menanam sepucuk tananaman tunas hijau. Dalam hatinya ia bergumam. “Syukurlah, masih ada diantara manusia-manusia yang masih memiliki hati nurani, dan aku percaya kelak ia akan memberikan secercah harapan teruntuk umat-umat manusia, menjadi penggerak hati untuk merawat bumi pertiwi. Seharusnya kami sebagai unsur-unsur alam benar-benar dijaga dan drawat dengan penuh cinta, bukan hanya demi kenyamanan manusia sendiri, tapi karena kami memang berhak untuk hidup lestari dengan nyaman serta abadi”.

Lalu, air sungaipun mati bersama air mata.


Komentar